“Pendidikan kesehatan reproduksi secara sinergi dapat dilakukan pada anak-anak oleh guru di lingkungan sekolah dan orangtua di lingkungan keluarga, semua harus berkolaborasi mencegah karena mencegah lebih baik daripada mengobati,” kata Retno lewat keterangan tertulis, Jumat 13 Januari.
Di Papua, data dari Wahana Visi Indonesia (WVI) mengungkapkan bahwa 24,71 persen anak menikah di bawah usia 19 tahun. Bahkan, ditemukan kasus anak menikah pada usia 10 tahun.
“Ini adalah angka mengenai perkawinan anak di mana angkanya sangat tinggi,” kata salah satu peneliti WVI Agustinus Agung secara daring, Selasa 14 September
Kabupaten Asmat menjadi daerah dengan angka tertinggi, hampir mencapai 30 persen. Jayapura mencatat 21,87 persen, Jayawijaya 18,23 persen, dan Biak Numfor 17,93 persen. WVI juga mencatat kehamilan anak di bawah umur mencapai 28,57 persen di Asmat.
“Anak dianggap sebagai jawaban untuk keluar dari problem kemiskinan yang ada,” ujar Agung.
Peneliti IPB Dina Nurdiawati mengungkapkan pernikahan anak didorong oleh berbagai faktor, mulai dari pendidikan yang rendah, budaya, tafsir agama, hingga tekanan ekonomi,
“Banyak orang tua yang merasa, dengan menikahkan anaknya mereka menjadi terbantu secara ekonomi. Hal itu dikarenakan sudah ada yang memberi nafkahi anaknya, jadi bukan tanggung jawab mereka lagi sebagai orang tua,” kata Dina, Jakarta 24 April.
Dalam banyak kasus, anak seringkali dianggap sebagai beban ekonomi atau solusi untuk memperbaiki kondisi keluarga. Pandangan budaya seperti “perawan tua”, praktik perjodohan, hingga nilai mahar tinggi juga mendorong pernikahan anak. Sedangkan dari sisi agama, sebagian kelompok menormalisasi pernikahan dini untuk mencegah zina.
Dampak pernikahan anak sangat serius. UNICEF mencatat komplikasi kehamilan dan persalinan menjadi penyebab kematian tertinggi kedua bagi perempuan usia 15-19 tahun.
Anak perempuan yang menikah dini juga empat kali lebih mungkin tidak menyelesaikan pendidikan menengah dan lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Staf Ahli Menteri PPPA Bidang Penanggulangan Kemiskinan Titi Eko Rahayu menyebut pernikahan anak sebagai ancaman nyata terhadap masa depan anak-anak.
“Tidak hanya memberikan dampak secara fisik dan psikis bagi anak-anak, perkawinan di usia anak juga dapat memperparah angka kemiskinan, stunting, putus sekolah hingga ancaman kanker serviks/kanker rahim pada anak,” ujar Titi, Jumat
27 Januari
Pemerintah sendiri telah mengubah batas minimal usia menikah bagi perempuan dari usia 16 tahun yang tercantum pada Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, menjadi minimal 19 tahun pada UU Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun realitanya, praktik dispensasi nikah masih marak.