HALOSMI.ID- Teknologi kecerdasan buatan (AI) kian berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Terlebih dengan kehadiran AI generatif atau Gen AI yang semakin mudah untuk diakses, dan efek dari penggunaan AI jadi malas untuk berfikir benarkah?
‘Ledakan’ kecerdasan artifisial ini pun tak lepas dari sorotan. Ada yang menyambut positif, dan tidak sedikit juga yang khawatir dengan keberadaan AI.
Pasalnya, keberadaan AI dikhawatirkan bakal menggantikan peran manusia. Di sisi lain, penggunaan AI terlalu berlebihan juga bisa berimbas buruk.
Sawitri, Country head marketing JobStreet Indonesia, mengungkap penggunaan berlebihan pada AI dapat membuat pekerja malas sampai “membuat kita berhenti berpikir”.
Meskipun dapat digunakan untuk berdiskusi mencari ide, AI ternyata dapat menumpulkan ide jika digunakan secara berlebihan.
Dalam laporan hasil survei bertajuk ‘Decoding Global Talent 2024’ GenAI Edition, mengungkap bagaimana pekerja di Indonesia terlalu bergantung dengan AI generatif.
Survei Jobstreet dilakukan terhadap 19.154 responden dari pekerja di berbagai industri, mulai dari IT hingga layanan kesehatan.
Hasil survei menunjukkan 10 persen responden Indonesia menggunakan AI secara mentah-mentah tanpa diperiksa ulang. Lalu 49 persen responden mengambil hasil AI dan dikoreksi ulang sebelum digunakan.
Hanya 28 persen responden yang menggunakan AI sebagai awalan dan sisanya dikerjakan secara mandiri.
Sementara itu, sektor pekerjaan yang paling sering menggunakan AI adalah pekerjaan-pekerjaan yang berbasis teknologi seperti data science, IT, dan yang berhubungan dengan digital.
Dalam hasil survei, 78 persen responden berpikir bahwa AI akan mengubah beberapa aspek pekerjaan mereka. Lalu 40 persen memperkirakan dampak besar yang dapat menghilangkan atau mengubah pekerjaan mereka.
Bikin burnout
Ketika ChatGPT mulai populer akhir 2022, Anurag Garg, pendiri agensi Everest PR mendorong timnya yang terdiri dari 11 orang untuk mengintegrasikan teknologi ini dalam alur kerja untuk kebutuhan persaingan dengan kompetitor.
Garg meminta karyawannya memanfaatkan AI untuk mengembangkan ide cerita hingga membuat catatan rapat.
Alih-alih meningkatkan produktivitas, teknologi ini justru membuat para karyawan burnout. Para karyawan merasa beban kerja meningkat karena harus membuat prompt, cek ulang hasil AI yang sering tidak akurat, dan terus beradaptasi dengan pembaruan fitu.
Selain itu, Garg merasa kewalahan dengan lonjakan alat AI baru yang terus dirilis. Sambil menggunakan ChatGPT, ia juga harus menggunakan Zapier untuk mengawasi tugas tim dan Perplexity untuk riset klien.