Ragam  

Viral! Masjid Jogokariyan Akun Medsos Diblokir Meta dan Youtube

HALOSMI.ID- Masjid Jogokariyan belakangan kembali menjadi sorotan publik usai sejumlah akun medsos resminya diblokir oleh Meta, hanya berselang beberapa hari setelah kanal YouTube-nya turut dihapus.

Pengurus masjid menyebut pemblokiran itu dilakukan secara sepihak dan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Meski begitu, mereka menegaskan bahwa semangat dakwah dan pelayanan umat tak akan surut.

Masjid Jogokariyan bukanlah masjid besar milik pemerintah atau ormas nasional, melainkan masjid kampung yang berdiri di kawasan padat penduduk Yogyakarta.

Berikut ini profil lengkap dan sejarah panjang berdirinya Masjid Jogokariyan.

Masjid Jogokariyan didirikan pada 20 September 1966, dan diresmikan satu tahun kemudian, tepatnya pada Agustus 1967 oleh Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta saat itu.

Masjid ini berdiri di Jalan Jogokariyan No. 36, Kelurahan Mantrijeron, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta, tepat di tengah-tengah lingkungan Kampung Jogokariyan.

Nama masjid diambil dari nama kampung tempatnya berdiri. Penamaan tersebut bukan tanpa alasan. Seperti dijelaskan oleh pengurus bidang kesekretariatan Masjid Jogokariyan Enggar Haryo Panggalih yang akrab disapa Galih, penamaan mengikuti tradisi Nabi Muhammad SAW yang menamai masjid sesuai tempat berdakwah.

“Rasulullah berdakwah di Quba, namanya Masjid Quba, beliau berdakwah di Bani Salamah, masjidnya juga namanya Bani Salamah sesuai dengan nama tempatnya,” ujar Galih Mengutip CNN.

Awal pembangunan masjid ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik saat itu. Berdasarkan situs resmi Masjid Jogokariyan, pada tahun 1966, lokasi masjid berada di jantung wilayah yang dikenal sebagai basis Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sebelum masjid berdiri, kegiatan keagamaan warga hanya dilakukan di sebuah langgar kecil berukuran 3×4 meter di pojok kampung. Bahkan saat Ramadan pun, langgar tersebut jarang terisi jamaah.

Hal ini karena mayoritas warga Kampung Jogokariyan pada masa itu merupakan masyarakat “abangan”, yakni masyarakat yang lebih menghayati tradisi kejawen dibandingkan praktik keislaman.

Kampung Jogokariyan sendiri mulai dibuka pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IV. Saat itu, sejumlah abdi dalem prajurit dari Kesatuan Jogokariyo dipindahkan dari dalam beteng (keraton) ke wilayah selatan, yakni ke kawasan yang sekarang dikenal sebagai Jogokariyan.

Namun, pada masa HB VIII, banyak prajurit kehilangan peran dan pekerjaan karena Keraton mempersempit fungsi mereka hanya sebagai pasukan upacara. Para prajurit pun diberikan lahan sawah dan pekarangan sebagai kompensasi, tapi tidak semua mampu beradaptasi.